Selasa, 29 November 2016

DOSA (dekasyena) tak berjalan semulus harapan



               1
                  NANA

 “Den bangun” teriak ku di depan pintu rumah dendy yang masih tertutup sambil mengetuk pintu. Tidak ada jawaban, aku langsung membuka pintu dan melihat dendy yang masih tergeletak di rung tv, aku bergegas membuka sepatuku dan masuk. “Dendy bangun!” teriakku lagi sambil menendang kaki dendy . “lah kok lu di sini?” tanya dendy dengan sedikit mengangkat kepala dan mengucek mata. “Buru bangun, udah jam berapa ini? Kita janjian jam 9.” Omelku sembari duduk bersila dihadapan dendy. “Baju gue masih basah lagi”. Dendy.. dendy.. kalo gak bikin kesel tuh rugi banget ya? Dengan hati sangat sangat kesal aku menghela nafas “yaudah lu bangun, mandi. Gue yang setrikain baju lu”. “Gue gak punya tas juga na” Keluh dendy. aku semakin naik darah “pake keresek!!” ketusku sambil menaiki meja yang ada di depan rumah dendy untuk mengambil pakaian setengah kering yang dijemur disebuah bambu panjang yang tergantung. “Ih serius!” sambil menghentakan kakinya dendy berdiri di depan pintu kamarnya sambil terus memperhatikanku. “Mandi sekarang! Nanti kita pikirin gimana cara bawa baju lu! Sekarang! 5 menit gak kelar lu gua gantung!” Teriakku tanpa menoleh ke arah dendy. Dendy berlari ke kamar mandi tanpa berkata apa pun. Setelah menurunkan semua pakaian dendy, dengan terburu buru aku mencari setrikaan dibawah meja tv dan langsung menggelar selimut untuk alas setrika. Sambil menunggu setrika siap, aku mencoba menelpon dika, dan beberapa kali tidak ada jawaban. Aduh.. gak ada yang bener! aku pun mencoba menelpon della tetangga sekaligus sahabat dika. “Dell tolong dong bangunin dika. Bilang nana udah siap, 15 menit lagi nana kesana harus udah mandi. Makasih ya” Menutup telpon. Syukurlah aku mengesave nomer della. Dendy selesai mandi, aku selesai menyetrika. “Sarapan dulu ah” ucapnya dengan santai sambil membuka freezer dan mengambil sebungkus sosis kemudian membawanya ke dapur. “Bajingan! Udah jam berapa ini!” ucapku dengan kesal. Tanpa menggubris ocehanku, dendy menggoreng sosis dan menyiapkan sarapan. Dendy duduk bersila dihadapanku  dengan sepiring nasi dan beberapa sosis di tangannya, aku yang sedari tadi menahan kesal pun mencoba menenangkan diri dengan cara merebahkan tubuhku di hadapan dendy dan memejamkan mata. “Selalu kalo mau pergi tuh kayak gini! Ah!! Pengen nangis gue! Kesel!” Kesalku dengan mata tetap terpejam. “Udah jangan nangis, mending makan na. Laperrr” ucap dendy dengan santai dan melahap sarapannya itu. Tanpa merespon, air mata pun mengalir tanpa sadar.
                Tibanya kita di rumah dika. Pagar dan pintu terbuka lebar. Alhamdulillah, bayi yang satu ini mulai pintar. Kami bergegas masuk, terlihat dika yang menggunakan sehelai handuk di pinggangnya keluar dari kamar mandi dengan rambut yang berantakan dan basah dia menoleh kearah kita dengan cengiran khasnya dia berkata “gue udah mandi dong”. “Pinter” pujiku sambil mengangkat ibu jariku dan tersenyum. Kami bertiga pun memasuki kamar dika, “Dika pinjem tas dong” mohon dendy sambil menenteng pelastik yang berisi pakaian. “Dih pinjem pinjem masa na. Mau jalan jalan gak modal!” ledek dika sambil menyisir rambut dan fokus ke cermin. “Pinjemin dik kasianan. Gua balik dulu ya, sekarang jam 8.30” melihat jam tangan G-shock yang berwarna hitam di tangan kiri, “pokoknya kita ketemu disana jam 09.00 gak ngaret! DIK JANGAN NGARET YA!” tegasku. Sulit memang mendidik mereka untuk bisa tepat waktu, butuh kesabaran extra. “iya na, kan gua gak ngaret. Buktinya tadi lu sampe gua udah mandi” dengan logat manjanya dika. “iya emang dika paling pinter dah. Itu pinjemin dendy tas jangan lupa ya. Gue balik dulu, see you bayi bayiku” aku berjalan keluar dengan kunci motor di tangan kanan, pokoknya berjalan dengan gaya sok cool andalannya yang ia adaptasi dari cowo cowok bad boy yang ada di FTV FTV.
                “Itu busnya!” teriak nana sambil menunjuk kearah busnya yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dendy dan dika yang masih berada di sebrang nana pun berlari menghampiri nana “berentiin dulu na” teriak dendy. Terdengar suara rem bus yang sedikit mengganggu telinga dan tepat dihadapan nana bus pun berhenti, tanpa menunggu lagi dendy, dika, nana bergegas menaiki badan bus. Nana yang berjalan di barisan paling depan mencari 3 bangku yang kosong. “Disini ya?” nana menunjuk 3 bangku kosong barisan ketiga dari belakang, dendy dan dika hanya mengangguk arti setuju. Bus yang mereka tumpangi tampak sepi, hanya terlihat sekitar 10 kepala saja. Nana duduk di dekat jendela kemudian menaruh tas ransel berwarna hitam dan sebuah kado yang cukup besar di bawah bangku yang ia duduki. Kemudian dika dan dendy menaruh tas tepat di samping nana, bukannya duduk mereka malah berjalan ke 2 bangku kosong yang ada di barisan paling belakang. Mereka terlihat mencoba mengutak-atik kamera SLR milik dika, rasa bosan pun mulai menghantui nana. Ia memasang earphonenya dan mulai menyalakan lagu yang ada di handphonenya. Sambil memejamkan mata, nana membayangkan ketika mereka sampai disana dan berkumpul bersama. Nana berfikir mungkin nanalah manusia paling bahagia saat itu. Sesampainya di stasiun bogor mereka turun dari bus, dika mencoba membantu membawakan kado yang cukup besar itu dan membantu nana menuruni tangga bak seorang putri. “Naik bus apa lagi?” tanya dendy, kacamata hitam yang terpasang dan gayanya yang sok cool itu membuat nana menyeringai geli. “Gaya lu kayak jamet!!” ledek nana “tuh tuh yang biru jurusan bogor-pelabuhan ratu” tunjuk nana, mereka mulai jalan ke arah belakang bus yang tadi mereka tumpangi menuju ke bus berikutnya. “kamana teh, aa?” tanya kondektur iseng, jelas jelas mereka sudah masuk badan bus. Dalam bus itu tidak ada bangku 3, terpaksa satu harus mengalah untuk duduk sendiri. Akhirnya dika mengalah untuk duduk terpisah sendiri, nana duduk dengan dendy di barisan kedua dari belakang sama seperti tadi dan dika duduk tepat di belakang bangku nana dan dendy. Sama seperti bus sebelumnya, bus ini pun hanya terisi setengahnya. Banyak tukang asongan dan tukang buah-buahan yang keluar masuk bus, dan masuklah tukang salak. Nana mulai tidak nyaman, karna penjual yang satu ini mulutnya rada rewel. “teh hayu jajan atuh.” Tawar si penjual, “makasih pak, enggak” jawab nana dengan senyuman terpaksa. “budak ngora mah teu ilok jajan, isin meureunnya. Jajan atuhlah ulah ngagedean isin weh” oceh si penjual sambil berjalan kearah supir. Dendy tertawa geli melihat nana yang sedikit kesal, “untung gua gak ngerti hahahaha”. “tai lu ya, lagian tuh orang mulutnya iseng banget sih. Orang gak mau beli masa dipaksa” kesalnya. Dendy hanya tertawa geli melihat nana mengomel, nana pun menoleh dika yang sedang fokus mengutak-atik kameranya “dika lu gak ditawarin salak?” tanya nana dengan muka asam. “ditawarin tadi, tapi gua bilang enggak bang makasih. Terus abangnya ngomong tapi gua gak ngerti” jelas dika panjang lebar. “untung lu gak ngerti dik, gua juga gak ngerti. Yang sianan nana ngarti hahahaha” ledek dendy. Nana langsung mengambil rambut dendy dan menjambaknya.
                “sok nu bade ka kamar mandi, didagoan” terdengar sama samar suara pak supir, nana membuka mata “dimana ni?” tanya nana kepada dendy. “mana gua tau nengggg” jawab dendy, nana melihat kejendela dan ternyata mereka sudah ada di cikembang berarti tidak lama lagi mereka sampai. “udah di cikembang nih, udah deket” ucap nana sambil mencari handphone di tasnya dan mencoba mencari kontak syerin. “yaudah buru kabarin syerin” ucap dendy kepada nana yang fokus ke handphonenya, dendy langsung menoleh ke dika “kita udah deket” jelasnya ke dika. “okehhhh cakeppp, gak sabar ni gua” ucap dika excited, dika langsung memasukan kamera kedalam tasnya. Nana terlihat gelisah karna nomer syerin tidak aktif, nana mulai memanggil long term memorynya untuk mengingat siapa yang bisa ia hubungi selain syerin dan mamanya. Bus mulai berjalan, nana makin panik tapi dika dan dendy terlihat santai. “aduhh.. siapa lagi ya yang bisa dihubungin? Semua nomer gak aktif” ucap nana panik menggigit ibu jarinya. “gak bisa dihubungin na?” tanya dika yang hanya terlihat kepalanya di atas bangku nana. “gak” jawab nana singkat sambil mencari cari kontak, “yaudah nanti pas kita turun aja hubungin lagi” jawab dendy santai. (ya tuhan kenapa santai santai banget? Kalo kita nginep di terminal gimana?) dalam hati nana, nana berfikir kalo terminal itu bukan tempat yang aman, banyak orang jahat yang bisa kapan saja menyerang dia. Akhirnya nana ingat pernah sms kakak tiri syerin, langsung nana mencoba menghubungi teh nina. “halo, saha ieu?” terdengar suara khas teh nina, nana pun menghela nafas tanda lega. “halo teh, ini nana. Syerin ada tah?” tanya nana santai sedikit gemetar, “oh syerin, lagi ke rumah neneknya di pelabuhan” mendengar jawaban itu nana mulai tegang lagi. “yah teh, terus gimana? Tolong hubungin mama dong, nana lagi dijalan mau ke sana.”
                “oh iya atuh ntar teh telponin mama nya” dengan logat sundanya yang khas, “iya teh makasih ya” langsung menutup telpon dan menggigit handphonenya. Tidak lama handphone nana berdering, nana menatap layar handphonenya dan panggilan dari nomer tak dikenal. Nana pun mengangkat telpon tersebut. “Halo” terdengar suara yang tak asing lagi ditelinga nana “Syerinnnnnnnnn” tanpa sadar nana menjerit, dendy yang kaget pun langsung menyekap mulut nana “berisik anjir!” bisik dendy. Dengan tangan kiri nana menyingkirkan tangan dendy yang menyekapnya “syer, gue udah lewatin cikembang ni. Lo dimana? Jemput napa” oceh nana tanpa bernafas, “lagian lu kok gak ngabarin dulu sih mau kesini?” tanya syerin terdengar gembira. “iya kan surprice, jemput yaaaa” rengek nana lagi, dendy yang menatap nana hanya tersenyum dan dika yang hanya terlihat kepalanya saja dari atas bangku nana pun ikut tersenyum. “iya iya nanti gua jemput, lu naik angkot tau kan?” belum sempat dijawab oleh nana, suara pun berganti “halo eneng” terdengar suara mama syerin, “kunaon teu bilang bilang mau kesini atuh? Mamah teh reuwas reuwas bahagia ieuh” dengan logat sundahnya yang asik mama syerin terlihat bahagia mendengar nana akan berkunjung.
                Bus pun tiba di terminal pelabuhan ratu, pukul 03.00. cahaya matahari yang membuat mereka silau saat turun dari bus, seperti biasa dendy dengan gaya sok coolnya turun dari bus. Dika cukup setia membantu nana membawa kado untuk syerin dan membantu nana turun tangga bus seperti yang dia lakukan saat turun bus sebelumnya, adik yang baik. “terus kemana?” tanya dendy sambil melihat lihat sekitar, terdengar suara para kenek yang mempromosikan bus nya masing-masing dan para tukang ojek yang menawar-nawarkan jasanya kepada para penumpang bus yang turun. “bade kamana teh?” terdengar suara lembut laki-laki dari belakang mereka, nana yang jalan paling depan tidak berani menoleh ke arah suara tersebut, “gak kang” jawab nana tanpa menoleh. “saya teh disuruh nunjukeun angkot ku teh syerin” seketika nana berhenti berjalan dan langsung menoleh ke belakang, tanpa berkata nana terlihat merasa bersalah karna mengabaikan pertanyaan si akang tadi “ini teh naik angkot ini” menunjuk ke arah angkot yang berwarna hijau “kang pang nurunkeun di jalan wayang nyah” ucap laki laki tersebut kepada supir angkot, nana, dendy, dika pun masuk ke dalam angkot. Nana hanya diam karna masih merasa bersalah, dan perut yang lapar juga sepertinya mempengaruhi ya na hahaha.
                Panasnya matahari kalah dengan dinginnya angin pantai, pandangan mereka fokus keluar jendela tanpa kata. Terdengar suara mesin angkot sebagai backsound mereka, rambut terkibas dan mata pun menyipit karna terkena angin. Sesampainya di depan gang mereka pun turun dari angkot dengan membungkukan badan mereka. “yuk nyebrang” sambil menengok kanan kiri nana memimpin untuk menyebrang, terlihat ada gubung sekitar 10 meter dari tempat mereka berdiri, mereka pun bergegas menghampiri gubuk tersebut dan menaruh semua barang termasuk tas ransel kemudian mereka membaringkan tubuh mereka di pinggir gubug dengan kaki menggantung. Nana memejamkan matanya dan mulai mengatur nafasnya, sedangkan dendy dan dika menatap atap gubug tersebut dengan nafas yang tak teratur. Serentak mereka bertiga bangun dengan wajah bete.
“mau beli minum ah aus” terdengar seperti ledekan, sambil berdiri dan langsung berjalan kearah warung yang berada di pinggir jalan.
                “emang punya duit?” teriak dika kepada dendy yang sudah mulai menjauhinya. Sepertinya pertarungan akan segera dimulai.
                “Punyalah” sahut dendy sambil menunjukan selembar uang lima ribu rupiah dari kantong celananya.
                Tanpa kata nana dan dika mengayunkan kaki mereka yang mengatung, dendy mulai mendekat dengan tangan kiri memegang 2 teh gelas dan tangan kanan memegang teh gelas yang sedang ia sedot. “Dih jajannya yang murahan” ledek dika dengan wajah tengilnya. “eh biarin, mau?” menyodorkan tangan kiri yang penuh dengan teh gelas. “Mau” mengulurkan tangan kanannya bermaksud untuk menerima pemberian dendy, tapi sebelum dika menyentuh minuman tersebut dendy buru-buru menarik tangannya “ih siapa juga yang mau ngasih!” ledek dendy sambil memalingkan wajahnya kearah nana, terlihat seperti dua anak kecil. “Anjirrrr!” ucap dika berbisik sambil membuang muka.
                “nih na” memberikan segelas minuman kepada nana “dia mah jangan dikasih” ledek dendy sambil membuang gelas pelastik kosong. Nana menerima pemberian dendy dengan senyum aneh melihat dua sahabatnya saling meledek.
                 Sebuah mobil pick up membelok kearah mereka dan “Nanaaaaaaaaa” terlihat kepala syerin yang berdiri di bagian belakang. “Syerin” teriak nana melompat dari duduknya dan melambaikan tangannya. Suara mesin mobil pick up pun lagi lagi menjadi backsound mereka, orang orang yang berada di bagian belakang pick up hanya memandang mereka dengan senyuman bahagia yang mereka berempat tularkan. Nana, dendy, dika memberikan salam kepada keluarga syerin yang berada di mobil pick up tersebut, dengan susah payah mereka menaikin mobil bagian belakang dan karna tidak cukup tempat untuk mereka duduk berempat akhirnya mereka pun berdiri.
                Mereka melompat untuk turun dari mobil, terlihat beberapa pasang mata yang ada di teras rumah syerin memperhatikan mereka. Setelah melewati perjalanan panjang dang melelahkan akhirnya sampai dan mereka hanya menginginkan kasur untuk meluruskan tubuh mereka. Suasana sore di perkampungan dengan suara bermain anak anak kecil yang wajah mereka dipenuhi bedak dan rambut merka yang cukup klimis mengantarkan jiwa mereka keperdamaian desa. Nana membuka........
BERSAMBUNG..